Indonesia, as an agrarian country with a population of more than 280 million people, faces a significant challenge in ensuring food availability for its citizens. Amidst rapid population growth and the continuous conversion of productive agricultural land into non-agricultural areas, there remains a substantial yet underutilized potential: idle land. Revitalizing this "sleeping giant" is no longer an option but a strategic necessity to reinforce national food security.
Idle land refers to agricultural land that has the potential to be cultivated but remains unused for a certain period. The underlying causes vary, ranging from land tenure disputes, limited access to capital and markets, declining soil fertility, to geographic isolation from infrastructure. In reality, millions of hectares of such land across Indonesia represent valuable assets that could be transformed into new centers of food production.
Strategies for Revitalizing Idle Land
Transforming idle land into productive farmland requires a comprehensive and collaborative approach. Several strategic measures can be prioritized:
Data Collection and Mapping through Technology
Accurate data on the location, size, ownership status, and agro-climatic conditions of idle land is essential. Geographic Information Systems (GIS) and remote sensing technologies can accelerate the process of identification and mapping, forming the foundation for evidence-based policymaking.
Agricultural Technology Innovation and Land Amelioration
Many idle lands suffer from reduced fertility or are classified as marginal lands, such as acidic drylands. Technological interventions are therefore crucial. Research by Wihardjaka (2016) highlights that the use of soil amendments such as biochar, compost, and organic fertilizers can significantly improve soil physical, chemical, and biological properties. In addition, selecting crop varieties adapted to specific conditions—such as sorghum or cassava for drylands—can enhance the probability of success.
Agrarian Reform and Legal Certainty
Land tenure conflicts often hinder the utilization of idle land. Agrarian reform programs, particularly through asset legalization and land redistribution, provide legal certainty for farmers. With formal land certificates, farmers are more motivated to invest in long-term land management and gain easier access to formal financial institutions.
Farmer Empowerment and Local Institutional Strengthening
The active participation of local communities is essential for sustainable outcomes. Strengthening farmer organizations, such as farmer groups and cooperatives, is key to facilitating technology transfer, access to credit, extension services, and collective management of post-harvest and marketing activities. Arsyad et al. (2020) demonstrated that active farmer involvement in planning and implementing idle land programs significantly increases program success and sustainability.
Integrated Agribusiness Models
Idle land utilization should not focus solely on monoculture practices. Developing integrated farming systems—combining food crops, horticulture, livestock, and aquaculture—can enhance efficiency, reduce risks of crop failure, and provide greater economic value for farmers.
Challenges and Future Pathways
Despite its vast potential, idle land revitalization faces notable challenges. Limited government budget allocations, declining interest among younger generations to engage in agriculture, and the uncertainties of climate change are critical issues that must be addressed.
To overcome these barriers, a pentahelix synergy is needed, involving government (as regulator and facilitator), academia (as a source of research and innovation), private sector actors (as investors and off-takers), farming communities (as primary stakeholders), and the media (as a channel for outreach and education).
Revitalizing idle land represents a long-term investment in Indonesia’s future. It is not only about increasing food production volume but also about creating rural employment, reducing poverty, ensuring socio-economic stability, and ultimately achieving national food sovereignty.
Indonesia, sebagai negara agraris dengan populasi lebih dari 280 juta jiwa, menghadapi tantangan besar dalam menjamin ketersediaan pangan bagi seluruh rakyatnya. Di tengah laju pertumbuhan penduduk dan konversi lahan pertanian produktif menjadi kawasan non-pertanian, terdapat satu potensi besar yang belum tergarap optimal: lahan tidur. Membangunkan "raksasa tidur" ini bukan lagi sekadar pilihan, melainkan sebuah keharusan strategis untuk memperkokoh ketahanan pangan nasional. Lahan tidur, atau lahan terlantar, merujuk pada bidang tanah yang potensial untuk usaha pertanian namun tidak diusahakan atau dimanfaatkan selama periode waktu tertentu. Penyebabnya beragam, mulai dari masalah status kepemilikan (tenurial), keterbatasan modal dan akses pasar bagi petani, degradasi kesuburan tanah, hingga lokasi yang terisolasi dari infrastruktur. Padahal, jutaan hektar lahan di seluruh Indonesia yang masuk dalam kategori ini adalah aset berharga yang dapat diubah menjadi lumbung pangan baru.
Transformasi lahan tidur menjadi lahan produktif memerlukan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif. Beberapa strategi kunci yang dapat diimplementasikan meliputi:
Pendataan dan Pemetaan Berbasis Teknologi
Langkah awal yang fundamental adalah memiliki data yang akurat mengenai lokasi, luas, status kepemilikan, dan karakteristik agroklimat dari lahan tidur. Pemanfaatan teknologi seperti Sistem Informasi Geografis (SIG) dan penginderaan jauh (remote sensing) dapat mempercepat proses identifikasi dan pemetaan. Data ini menjadi dasar bagi pemerintah untuk merancang kebijakan yang tepat sasaran.
Inovasi Teknologi Pertanian dan Ameliorasi Lahan
Banyak lahan tidur mengalami penurunan kesuburan atau bersifat marjinal (misalnya lahan kering masam). Oleh karena itu, penerapan teknologi menjadi krusial. Seperti yang dikaji dalam penelitian oleh Wihardjaka (2016), penggunaan bahan amelioran seperti biochar, kompos, dan pupuk organik dapat secara signifikan memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Selain itu, pemilihan komoditas yang adaptif terhadap kondisi lahan spesifik, seperti sorgum atau singkong untuk lahan kering, dapat meningkatkan peluang keberhasilan.
Reformasi Agraria dan Kepastian Hukum
Konflik tenurial sering menjadi penghambat utama pemanfaatan lahan. Program Reformasi Agraria, khususnya melalui legalisasi aset dan redistribusi tanah, memberikan kepastian hukum kepada petani penggarap. Dengan adanya sertifikat hak milik, petani menjadi lebih termotivasi untuk berinvestasi jangka panjang pada lahan mereka dan lebih mudah mengakses sumber permodalan formal.
Pemberdayaan Petani dan Kelembagaan Lokal
Program tidak akan berjalan tanpa partisipasi aktif dari masyarakat. Penguatan kelembagaan petani seperti Kelompok Tani atau Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) adalah kunci. Melalui kelembagaan ini, proses penyuluhan, transfer teknologi, pengajuan kredit usaha, hingga manajemen pascapanen dan pemasaran dapat dilakukan secara kolektif dan lebih efisien. Penelitian oleh Arsyad, et al. (2020) menunjukkan bahwa partisipasi aktif petani dalam perencanaan dan pelaksanaan program pemanfaatan lahan terlantar meningkatkan tingkat keberhasilan dan keberlanjutan program tersebut.
Model Agribisnis Terintegrasi
Pemanfaatan lahan tidur sebaiknya tidak hanya berfokus pada produksi satu komoditas (monokultur). Pengembangan model agribisnis terintegrasi atau integrated farming system—yang menggabungkan tanaman pangan, hortikultura, peternakan, dan perikanan dalam satu kawasan—dapat meningkatkan efisiensi, menekan risiko gagal panen, dan memberikan nilai tambah ekonomi yang lebih tinggi bagi petani.
Meskipun potensinya sangat besar, upaya ini tidak lepas dari tantangan. Keterbatasan anggaran pemerintah, rendahnya minat generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian, serta perubahan iklim yang tidak menentu adalah beberapa kendala yang harus diatasi. Untuk itu, diperlukan sinergi pentahelix yang melibatkan pemerintah (sebagai regulator dan fasilitator), akademisi (sebagai sumber inovasi dan riset), pelaku usaha (sebagai investor dan offtaker), komunitas/petani (sebagai subjek utama), dan media (sebagai sarana sosialisasi). Mengubah lahan tidur menjadi lahan produktif adalah investasi jangka panjang bagi masa depan Indonesia. Ini bukan hanya tentang meningkatkan volume produksi pangan, tetapi juga tentang menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan di pedesaan, menjaga stabilitas sosial-ekonomi, dan pada akhirnya, mewujudkan kedaulatan pangan nasional.
Reference
Arsyad, M., Nasaruddin, N., & Syaf, S. (2020). Strategi Pemanfaatan Lahan Tidur Berbasis Partisipasi Masyarakat di Kabupaten Maros. Jurnal Ilmiah Ecosystem, 20(2), 241-250.
Sumaryanto. (2009). Pemanfaatan Lahan Tidur untuk Mendukung Ketahanan Pangan dan Energi serta Kesempatan Kerja. Jurnal Litbang Pertanian, 28(3), 86-93.
Wihardjaka, A. (2016). Peran Bahan Amelioran dalam Peningkatan Produktivitas Lahan Kering Masam. Jurnal Sumberdaya Lahan, 10(1), 13-26.
Yunus, M., Harianto, H., & Mulyo, J. H. (2017). Dampak Kebijakan Pemanfaatan Lahan Terlantar terhadap Kesejahteraan Petani dan Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Provinsi Gorontalo. Jurnal Ketahanan Nasional, 23(1), 1-21.
PT. Precision Agriculutre Indonesia adalah ekosistem digital pertanian Indonesia yang mengintegrasikan agrotech, pertanian presisi, pertanian cerdas, dan pertanian pintar melalui pemanfaatan teknologi seperti sensor pertanian, Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan, sistem irigasi otomatis, pemupukan cerdas, dan pemantauan tanaman berbasis data real-time, serta menghadirkan layanan edukasi petani modern, digitalisasi agribisnis, pasar produk pertanian online, penguatan rantai pasok, inovasi teknologi tepat guna, dan solusi pertanian ramah lingkungan yang mendukung pertanian modern, berkelanjutan, dan berdaya saing tinggi di era Revolusi Industri 4.0. Pertanian Presisi Indonesia