Eggplant (Solanum melongena) is a valuable horticultural crop widely cultivated across tropical and subtropical agroecosystems. A common physiological symptom in its cultivation is leaf yellowing (chlorosis), often signaling nutritional imbalance, physiological stress, or pathogenic infection. A clear understanding of the underlying causes is essential for effective and sustainable crop management.
Source: https://rumahtani.com/penyakit-kuning-pada-tanaman-terong-ancaman-virus-gemini-dan-cara-pengendaliannya/
Nutrient Imbalance from Deficiency or Toxicity
Chlorosis is frequently associated with nitrogen (N) deficiency, as N plays a key role in chlorophyll synthesis. However, it can also result from a lack of micronutrients such as magnesium (Mg), iron (Fe), and manganese (Mn) (Taufik et al., 2020). Each deficiency exhibits unique symptoms: Mg deficiency causes older leaves to yellow from the edges, while Fe deficiency leads to interveinal chlorosis in young leaves. Thus, it is important to carefully observe the symptom pattern or conduct soil testing before applying fertilizers.
Both water excess and drought can lead to chlorosis through impaired vascular function and reduced root respiration. Saturated soils create anaerobic conditions, suppressing beneficial microbes and causing root rot. On the other hand, prolonged drought reduces nutrient transport and damages leaf tissue. Using soil moisture sensors (e.g., tensiometers) and implementing deficit irrigation strategies can help prevent water-related stress.
Bacterial wilt (Ralstonia solanacearum) and Fusarium wilt (Fusarium oxysporum) are major diseases in eggplants that disrupt vascular flow (Ali & Aprilia, 2018). Early symptoms include yellowing of lower leaves, followed by necrosis and full wilting. Because these symptoms mimic those of nutrient deficiency or drought, careful monitoring or lab testing is necessary for accurate diagnosis.
High temperatures and intense sunlight can cause thermal and photo-oxidative chlorosis, especially in young leaves with underdeveloped antioxidant systems. Strong winds can further disrupt transpiration and accelerate dehydration. Solutions include partial shading, planting in sheltered areas, and using organic mulch to maintain soil moisture and moderate temperature.
Chlorosis in eggplants is a complex issue involving nutrient imbalance, water stress, pathogen attack, and environmental extremes. Effective management requires data-driven observation and timely intervention. By understanding the root causes, farmers can make more precise and sustainable decisions in eggplant cultivation.
Tanaman terong (Solanum melongena) merupakan salah satu komoditas hortikultura penting yang dibudidayakan secara luas di berbagai agroekosistem tropis dan subtropis. Dalam praktik budidayanya, gejala menguningnya daun (klorosis) sering kali dijumpai dan menjadi indikator adanya gangguan fisiologis, ketidakseimbangan nutrisi, maupun infeksi patogen. Memahami penyebab utama klorosis sangat penting untuk mendukung pengelolaan tanaman secara tepat dan berkelanjutan.
Ketidakseimbangan Hara antara Defisiensi dan Toksisitas
Klorosis sering dikaitkan dengan defisiensi nitrogen (N), unsur penting dalam pembentukan klorofil. Namun, gejala ini juga dapat disebabkan oleh kekurangan unsur mikro seperti magnesium (Mg), besi (Fe), dan mangan (Mn) (Taufik et al., 2020). Setiap jenis kekurangan memiliki pola gejala khas. Kekurangan Mg menyebabkan daun tua menguning dari tepinya, sementara defisiensi Fe menyebabkan klorosis interveinal pada daun muda. Oleh karena itu, sebelum menambahkan pupuk, penting untuk mengidentifikasi gejala secara spesifik atau melakukan uji tanah jika memungkinkan.
Ketidakseimbangan kelembapan tanah, baik kelebihan maupun kekurangan air, dapat memicu klorosis melalui dua mekanisme utama: gangguan fisiologis pada jaringan pembuluh dan terganggunya respirasi akar. Tanah yang terlalu basah dapat menyebabkan anaerobiosis, menurunnya aktivitas mikroba menguntungkan, dan pembusukan akar (root rot). Sebaliknya, kekeringan kronis menghambat penyerapan nutrisi dan merusak sel parenkim daun. Pemantauan kelembapan dengan sensor seperti tensiometer serta penerapan irigasi berbasis kebutuhan (deficit irrigation) dapat menjadi solusi yang efektif.
Penyakit seperti layu bakteri (Ralstonia solanacearum) dan layu fusarium (Fusarium oxysporum) menyerang sistem vaskular tanaman dan menyebabkan gangguan aliran air serta nutrisi (Ali & Aprilia, 2018). Gejala awalnya adalah klorosis pada daun bagian bawah yang kemudian berkembang menjadi nekrosis dan kelayuan menyeluruh. Karena gejalanya menyerupai kekurangan hara atau kekeringan, identifikasi akurat perlu dilakukan melalui pengamatan mendalam atau uji laboratorium.
Paparan sinar matahari intens dan suhu ekstrem dapat menyebabkan stres abiotik seperti klorosis termal atau fotooksidatif. Daun muda lebih rentan terhadap stres ini karena sistem perlindungan antioksidannya belum sempurna. Selain itu, angin kencang juga dapat mempercepat transpirasi dan menyebabkan dehidrasi jaringan. Solusi yang dapat diterapkan antara lain menanam di area yang terlindung sebagian, serta penggunaan mulsa organik untuk menurunkan suhu tanah dan menjaga kelembapan.
Klorosis pada tanaman terong merupakan gejala kompleks yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi, mulai dari ketidakseimbangan hara, gangguan air, serangan patogen, hingga kondisi lingkungan ekstrem. Penanganan efektif memerlukan pendekatan berbasis data, observasi lapangan yang cermat, dan intervensi yang tepat. Dengan memahami mekanisme di balik daun menguning, petani dapat melakukan pengelolaan yang lebih presisi dan berkelanjutan.
Reference
Ali, F., & Aprilia, R. L. (2018). Yellow virus infection in eggplant and the effect of leaf extract from Clerodendrum japonicum and Mirabilis jalapa. Agrovigor: Journal of Agroecotechnology, 11(2), 101–105.
Taufik, A. N., Berlian, L., Shavira, M. U., & Ramadhan, A. R. (2020, November). Analysis of Gemini Virus Presence in Eggplant Plants in Serang City. In Proceedings of the National Education Seminar FKIP (Vol. 3, No. 1, pp. 494–501).
PT. Precision Agriculutre Indonesia adalah ekosistem digital pertanian Indonesia yang mengintegrasikan agrotech, pertanian presisi, pertanian cerdas, dan pertanian pintar melalui pemanfaatan teknologi seperti sensor pertanian, Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan, sistem irigasi otomatis, pemupukan cerdas, dan pemantauan tanaman berbasis data real-time, serta menghadirkan layanan edukasi petani modern, digitalisasi agribisnis, pasar produk pertanian online, penguatan rantai pasok, inovasi teknologi tepat guna, dan solusi pertanian ramah lingkungan yang mendukung pertanian modern, berkelanjutan, dan berdaya saing tinggi di era Revolusi Industri 4.0.