Transforming Agricultural and Livestock Waste into Organic Compost Fertilizer
Transforming Agricultural and Livestock Waste into Organic Compost Fertilizer
Agricultural and livestock waste is often viewed as useless waste, often causing environmental problems if disposed of without proper management. Piles of straw, crop residue, and animal manure, if left untreated, can become sources of pollution that harm the surrounding community. However, when processed properly, these wastes can actually provide significant added value, one example being compost. This fertilizer plays a crucial role in improving soil structure, increasing nutrient availability, and ultimately supporting the sustainability of a more environmentally friendly agricultural system.
By definition, compost, or organic fertilizer, is the result of the decomposition of various organic materials derived from plant and animal waste through a biological process. The final product can be a solid or liquid that can improve the physical, chemical, and biological properties of the soil. Solid compost is typically made from materials such as straw, dried leaves, coconut fiber, and corn cobs, which are then combined with livestock manure. The decomposition process is carried out by various decomposing microorganisms, including bacteria, fungi, actinomycetes, and the assistance of macroorganisms such as earthworms. Besides solid forms, liquid organic fertilizer (POC) is also available, and is increasingly used by farmers. POC is made from easily decomposable kitchen scraps, such as vegetables, fruit, stale rice, fish, chicken, and eggshells. This wet organic material contains complete nutrients, making it excellent for supporting plant growth.
The raw material for composting isn't limited to agricultural waste. Various types of non-agricultural waste, such as organic household waste, market waste, and city park waste, can also be utilized. However, fresh organic material cannot be directly applied to plants. This is due to its imbalanced carbon and nitrogen (C/N) content. The ideal C/N ratio for soil ranges from 10 to 12, while fresh materials generally have a much higher C/N ratio. For example, straw and leaves have a ratio of around 50–70, and wood can even reach over 400. This makes it difficult for plants to absorb fresh organic material directly.
Therefore, the composting process is essential to reduce the C/N ratio to near the soil ratio, which is less than 20. This decomposition process can occur under aerobic conditions, namely in the presence of oxygen, or anaerobically without oxygen. The length of time required varies, depending on the type of material and decomposition conditions, ranging from one month to several years. This process involves the collaboration of various heterotrophic microorganisms such as bacteria, fungi, actinomycetes, and protozoa that play an active role in breaking down complex organic materials into simpler compounds that are easily absorbed by plants. Thus, processing agricultural and livestock waste into compost not only helps overcome the problem of organic waste, but also becomes an important solution in realizing sustainable agriculture that is more environmentally friendly and cost-effective for farmers.
Limbah pertanian dan peternakan sering dipandang sebagai bahan sisa yang tidak memiliki manfaat, bahkan sering kali menimbulkan permasalahan lingkungan apabila dibuang begitu saja tanpa pengelolaan yang benar. Tumpukan jerami, sisa tanaman, maupun kotoran hewan, jika dibiarkan, bisa menjadi sumber polusi yang merugikan masyarakat sekitar. Padahal, apabila diolah dengan metode yang tepat, limbah-limbah tersebut justru dapat memberikan nilai tambah yang besar, salah satunya dengan dijadikan pupuk kompos. Pupuk ini berperan penting dalam memperbaiki struktur tanah, meningkatkan ketersediaan unsur hara, dan pada akhirnya mendukung keberlangsungan sistem pertanian yang lebih ramah lingkungan.
Secara definisi, pupuk kompos atau pupuk organik adalah hasil penguraian berbagai bahan organik yang berasal dari sisa tanaman maupun hewan melalui suatu proses rekayasa biologi. Produk akhirnya bisa berupa padatan maupun cairan yang mampu memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Kompos padat biasanya dibuat dari bahan seperti jerami, daun-daunan kering, sabut kelapa, hingga tongkol jagung, yang kemudian dikombinasikan dengan kotoran ternak. Proses penguraian dilakukan oleh berbagai mikroorganisme pengurai, di antaranya bakteri, jamur, aktinomisetes, serta bantuan makroorganisme seperti cacing tanah. Selain bentuknya yang padat, terdapat pula pupuk organik cair (POC) yang kini semakin banyak digunakan oleh petani. POC dibuat dengan memanfaatkan sisa dapur yang mudah terdekomposisi, misalnya sayuran, buah-buahan, nasi basi, ikan, ayam, serta kulit telur. Bahan organik basah ini mengandung nutrisi yang lengkap sehingga sangat baik untuk mendukung pertumbuhan tanaman.
Sumber bahan baku pembuatan kompos tidak terbatas pada limbah pertanian saja. Berbagai jenis limbah nonpertanian, seperti sampah rumah tangga organik, sampah pasar, dan sampah taman kota, juga dapat dimanfaatkan. Meskipun demikian, bahan organik segar tidak bisa langsung diberikan kepada tanaman. Hal ini disebabkan oleh kandungan karbon dan nitrogen (C/N) yang tidak seimbang. Rasio C/N ideal untuk tanah berkisar antara 10 hingga 12, sedangkan bahan segar umumnya memiliki rasio C/N jauh lebih tinggi. Misalnya, jerami dan daun-daunan memiliki rasio sekitar 50–70, bahkan kayu-kayuan bisa mencapai lebih dari 400. Kondisi ini membuat bahan organik segar sulit langsung diserap oleh tanaman.
Oleh karena itu, proses pengomposan sangat diperlukan untuk menurunkan rasio C/N hingga mendekati rasio tanah, yakni kurang dari 20. Proses dekomposisi ini dapat berlangsung dalam kondisi aerob, yaitu dengan keberadaan oksigen, maupun anaerob tanpa oksigen. Lama waktu yang dibutuhkan bervariasi, tergantung jenis bahan dan kondisi penguraian, mulai dari hitungan satu bulan hingga beberapa tahun. Proses ini melibatkan kerja sama berbagai mikroorganisme heterotropik seperti bakteri, jamur, aktinomisetes, hingga protozoa yang berperan aktif dalam menguraikan bahan organik kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana dan mudah diserap tanaman. Dengan demikian, pengolahan limbah pertanian dan peternakan menjadi pupuk kompos tidak hanya membantu mengatasi permasalahan sampah organik, tetapi juga menjadi solusi penting dalam mewujudkan pertanian berkelanjutan yang lebih ramah lingkungan sekaligus hemat biaya bagi petani.
REFERENSI
Nurman, S., Ermaya, D., Hidayat, F., & Sunartaty, R. (2019). Pemanfaatan limbah pertanian dan peternakan sebagai pupuk kompos. JPPM (Jurnal Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat), 3(1), 5-8.
Simbolon, B. A. J., Sitanggang, E. S. Y., Damanik, D. S., Heddy, H., & Naibaho, D. (2021). Pemanfaatan Limbah Pertanian dan Peternakan Sebagai Pupuk Kompos. Jurnal Ilmiah Madiya (Masyarakat Mandiri Berkarya), 2(2), 125-131.
Pulungan, A. N., Sutiani, A., Sihombing, J. L., Nasution, H. I., & Munzirwan, R. (2022). PKM Pengolahan Limbah Peternakan Dan Pertanian Menjadi Pupuk Organik Di Desa Wonosari. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat (JPKM) TABIKPUN, 3(2), 105-114.
PT. Precision Agriculutre Indonesia adalah ekosistem digital pertanian Indonesia yang mengintegrasikan agrotech, pertanian presisi, pertanian cerdas, dan pertanian pintar melalui pemanfaatan teknologi seperti sensor pertanian, Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan, sistem irigasi otomatis, pemupukan cerdas, dan pemantauan tanaman berbasis data real-time, serta menghadirkan layanan edukasi petani modern, digitalisasi agribisnis, pasar produk pertanian online, penguatan rantai pasok, inovasi teknologi tepat guna, dan solusi pertanian ramah lingkungan yang mendukung pertanian modern, berkelanjutan, dan berdaya saing tinggi di era Revolusi Industri 4.0. Pertanian Presisi Indonesia